Menuju Aku
Aku adalah ruh semesta
Yang hancur menjadi debu
Terombang-ambing dalam riak
Mengalir lebur dalam muara
Yang kulihat hanya bias
Yang kurasa hanya luka
Siang atau malam aku tak tahu
Aku ingin mati
Tapi tak yakin aku hidup
Riuh, senyap
Dalam lumpur aku lenyap
Kaulah Kerinduan
Dari pangkal jiwaku yang paling dalam
Ruang kecil yang hidup dan terus menggema
Yang menuntunku sampai ke penghujung malam
Dan yang menemaniku sampai batas kesunyian
Kaulah rinduku
Rindu yang menjelma Hawa
Yang menjadikanku manusia seutuhnya
Namun, manusia adalah fana
Begitu pula denganmu
Kaulah rinduku
Kelopakmu merambat pudar meranum
Jatuh terbawa air mata, satu demi satu
Rupa menjadi rasa, warna menjadi buta
Tiada lagi tangkai, tiada lagi rusuk
Hanya sisa aroma rindu yang merenjana
Menyublim menjadi berlaksa-laksa embun
Memenuhi setiap sudut rongga malam
Kemudian memikulnya perlahan,
Menuju pagi yang sementara
Kaulah rinduku
Pudarmu menghapuskanku
Menyatukan yang aku dalam semesta
Menuju Jati
Aku adalah sebatang jati
Yang menunduk bumi di liang pusara hati
Merayap senyap di ruang nadi
Merasuk rusuk terjebak raga
Yang kuingat hanya remang
Yang kutatap hanya gelap
Mimpi atau fana aku tak peduli
Aku ingin hidup
Tapi tak yakin aku pernah ada
Bising, sunyi
Dalam terang aku pudar
Aku Sang Pengemis Jiwa
Aku hanyalah pengemis jiwa
Tanpa warna aku hina
Kala itu,
Mendung menghitam membawa kelam
Mendekat, merayap, merasuk ruam
Dinding memucat, meretak, luruh meremah
Sedang ayah tertidur pulas, dan ibu sibuk merias
Ranpa tahu anaknya membakar rumah, karena takut dan kedinginan
Tapi mendung terlanjur datang
Hujan meratap-ratap mengikis atap
Hingga air mengubur jiwa mereka
Pada akhirnya aku telah sampai
Tak ada lagi jiwa, tak ada lagi rasa
Kosong
Sampai rona nadiku pucat memudar
Mati
Tinggal jasadku yang masih berdiri
Di sini,
Mengemis jiwa, memulung rasa
Mengumpulkan sisa-sisa warna yang masih bisa merupa
Hanya Malam
Hanya malam
Hitam membisu, tiada lagi purnama
Hanya malam, senyap gelap membabi-buta
Kelam meradang, merintih menciumi perih
Hanya malam, dengan mata meronta tanpa air mata
Pun api sudah padam membakar tubuhnya
Hanya malam, sendiri di ujung tali, di atas kursi
Tiada bunga, tiada upacara
Hanya malam yang semakin malam, semakin malam
Seikat Rindu Subuh Itu
Subuh itu, langit terlihat biru mendayu
Serangkaian bintang memudar menjauhi malam
Hanya tinggal bulan yang tersenyum menahan rindu
Menunggu kelopak sayu menyapanya dari balik Mahameru
Subuh itu, semilir angin terasa kering
Embun menguap meninggalkan pucuk-pucuk daun randu
Suara layang-layang terdengar parau menyesakkan dada
Hanya sisa aroma pagi yang setengah meremah hati
Subuh itu, udara dingin menjerat erat
Membekukan darah, menusuk-nusuk setiap rongga arteri
Jantung termenung, sendu membisu menikmati sepi
Sedang otak menggigil menunggu rusuk terpeluk
Subuh itu, memaksaku bertanya
Apakah kau juga merindukanku kala itu?
Sajak Seekor Kecoak
Setiap malam aku menyusuri selokan
Mencari sisa-sisa kerakusan manusia
Terkadang aku menemukan hati yang mati
Terkadang juga aku temukan birahi yang berdegup kencang
Setiap malam aku menyusuri selokan
Mencari sisa-sisa kesombongan manusia
Terkadang aku terjebak hina di antara mereka
Manusia-manusia yang bersenggama