Dalam dunia teater, aktor sering dihadapkan pada pertanyaan yang kelihatannya sederhana, tapi sebenarnya cukup rumit: Haruskah benar-benar menjadi karakter sepenuhnya, atau cukup menjadi diri sendiri yang memerankan karakter itu???… Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban yang pasti atau mutlak. Setiap aktor punya cara sendiri dalam mendekati peran. Ada yang memilih menyelami tokohnya secara total, ada juga yang tetap menjaga sebagian dirinya saat bermain. Sebenarnya, proses mendalami peran adalah ruang pertemuan antara pribadi aktor dan tokoh yang dimainkan. Keduanya saling memengaruhi, membentuk penampilan yang terasa lebih hidup dan menyentuh. Di situlah keunikan seni peran muncul! Bukan soal memilih menjadi siapa, tapi bagaimana menghadirkan karakter dengan jujur dan kuat di atas panggung.
Nah, kami dari Teater Lingkar ada beberapa tips yang bisa kita bagi! Berikut beberapa pendekatan yang dapat membantu aktor mendalami karakter dengan lebih authentic dan menyeluruh, bisa dilakukan selama masa latihan dan sebelum pentas:
1. Silentium: Luangkan Waktu untuk Sunyi
Kadang, keheningan justru memberi kita ruang untuk mendengar suara terdalam karakter. Sebelum latihan atau pentas, meluangkan waktu untuk duduk diam, bermeditasi, atau sekadar merenung tanpa distraksi dapat membantu aktor menyelami sisi emosional karakter. Di saat sunyi, kita bisa mengimajinasikan masa lalu karakter, motivasinya, atau bahkan nada suaranya. Ketika bermeditasi, sang aktor bisa membayangkan kalau dalam setiap hela nafas, sedikit demi sedikit kehidupan, sikap, pemikiran, dan lingkungan sang karakter menggantikan maupun berbaur dengan milik dia sendiri.
2. Dalami Suasana Lewat Musik dan Ambience
Setiap karakter memiliki “suasana batin” yang bisa dibantu dengan stimulasi suara. Dengarkan lagu yang menurutmu “mewakili” karakter tersebut. Bisa berupa musik instrumental, ambience seperti hujan, pasar malam, atau bahkan suara pernapasan dalam ruang hampa. Biarkan tubuh dan emosi menyatu dengan nuansa itu.
3. Ambil Referensi, Tapi Jangan Tiru Mentah-Mentah
Terinspirasi dari karakter dalam film, novel, atau sejarah bisa sangat membantu. Misalnya, jika kamu memerankan tokoh pemberontak yang tenang namun tajam, kamu bisa mengamati karakter seperti V di V for Vendetta atau Severus Snape dari Harry Potter. Amati gestur, cara berbicara, cara diam—dan kemudian, reinterpretasi dengan keunikanmu sendiri.
4. Bangun Relasi Antar Tokoh
Karakter tidak pernah hidup sendirian di atas panggung. Kenali juga peran dan dinamika tokoh-tokoh lain dalam naskah. Bagaimana hubungan karaktermu dengan mereka? Apakah ada ketegangan, kasih sayang, atau rahasia yang belum terungkap? Melalui latihan bersama dan diskusi dengan rekan aktor, kamu bisa membangun kekhasan interaksi yang membuat karaktermu lebih kaya dan terkoneksi.
5. Gabungkan Imajinasi dan Pengalaman Pribadi
Bermain peran bukan berarti menghapus dirimu, tapi mengizinkan dirimu untuk “menjadi wadah” bagi karakter. Gunakan pengalaman pribadi yang serupa dengan situasi karakter. Namun, jangan takut untuk membiarkan imajinasi melampaui batas realitasmu, jadilah kreatif dengan interpretasi dan pendalamanmu! Di sanalah seni dimulai!!!

Contoh Pendalaman: Monolog Cermin
Dalam monolog Cermin karya Nano Riantiarno, kita melihat seorang pria yang berbicara pada bayangan dirinya sendiri, atau mungkin pada rasa bersalah dan penyesalan yang selama ini dia simpan. Tanpa mengungkapkan spoiler monolog tersebut secara berlebihan: Tokohnya penuh emosi: marah, bingung, terluka, dan kesepian. Untuk bisa memainkannya dengan jujur, seorang aktor tidak cukup hanya menghafal naskah. Dia perlu masuk ke dalam dunia batin kompleks sang tokoh. Proses ini bisa dimulai dengan duduk dalam keheningan, membayangkan bagaimana rasanya kehilangan, atau mendengarkan suara-suara sunyi yang seolah berasal dari masa lalu karakter itu. Kadang, aktor juga menciptakan adegan-adegan kecil di luar naskah, misalnya membayangkan percakapan dengan sang istri atau anak, agar bisa merasakan ikatan emosional yang lebih dalam.
Pendekatan ini bukan soal menghilangkan diri sendiri, tapi justru tentang membuka ruang dalam diri untuk merasakan hal-hal yang belum tentu pernah dialami. Dalam Cermin, seorang aktor mungkin tidak benar-benar menjadi si tokoh, tapi dia bisa merasa cukup dekat untuk berbagi luka dan pertanyaan yang sama. Maka saat sang aktor berdiri di panggung dan menyampaikan isi hati tokoh itu, penonton bisa ikut tergerak. Mereka merasa, “Ah, aku pernah merasa seperti itu juga.” Di situlah seni peran bekerja: bukan soal menjadi orang lain, tapi membuat orang lain percaya bahwa perasaan itu nyata.
Pada akhirnya, tidak ada jawaban mutlak. Beberapa aktor memilih untuk “menghidupi” karakternya sepanjang proses produksi. Yang lain, tetap menjaga jarak emosional dan hanya “meminjamkan tubuh dan suara.” Yang terpenting adalah kejujuran dalam bermain: apakah kamu membuat penonton percaya pada kehidupan karakter di atas panggung?
Karena dalam teater, kita tak hanya berpura-pura, kita menghidupkan!
Ingin belajar lebih banyak tentang teater? Jangan lupa kunjungi Teater Lingkar. [Brenda]