Naskah-Naskah Hebat yang Dibawakan dengan Ragam Ekspresi

Teater Lingkar baru saja menutup rangkaian proses panjang Recruitment Anggota Baru 2025 yang mengusung tema besar “Temukan Suara, Lantangkan Cerita”. Sebanyak kurang lebih 20 anggota baru berhasil melalui berbagai tahapan, mulai dari Screening, First gathering, Diklat Ruang hingga tahapan akhir Diklat Alam. Sebagai bagian dari seleksi akhir, para anggota baru menampilkan pentas-pentas kecil yang penuh ekspresi. Mereka tampil dalam kelompok berdasarkan personifikasi emosi— Joy, Fear, Sadness, Disgust dan Anger. Berikut ini adalah deretan naskah yang mereka bawakan dengan penuh penjiwaan:

Jeritan Keadilan

“Jeritan Keadilan” adalah naskah yang menggambarkan jeritan batin seorang perempuan bernama Laksmi, yang hidup dalam cengkraman budaya patriarki. Lewat simbolisasi tokoh suami dan dua anomali (yang mewakili masyarakat pendukung patriarki), naskah ini menunjukkan penderitaan, ketidakadilan, dan keterjajahan perempuan dalam sistem yang menindas.

Naskah ini dibawakan oleh kelompok Sadness, dengan tantangan tersendiri bagi para pemainnya. Sutradara Sadness mengungkapkan, “Saya awalnya bingung, apakah para tokohnya saling mengobrol atau lebih kepada monolog? Akhirnya, saya memilih pendekatan puisi untuk menampilkan pementasan ini.”  Meski begitu, harapan besar tersemat dalam pementasan ini. “Saya ingin penonton tidak hanya melihat, tetapi juga merasakan bagaimana sistem patriarki bekerja dan dampaknya bagi perempuan. Semoga setelah menyaksikan ini, ada kesadaran yang tumbuh, walaupun hanya sedikit.”

19.99

Naskah yang ditulis oleh S.F.W adalah naskah psikologis dan reflektif yang menggambarkan kegelisahan dan pergulatan batin seorang gadis bernama Larasati, yang merayakan ulang tahunnya ke-19 di tengah kesunyian dan konflik batin yang mendalam. Naskah ini mengajarkan tentang pentingnya keberanian menghadapi ketakutan, serta upaya untuk tetap bertahan dan menguatkan diri sendiri ditengah keraguan. Sutradara dari kelompok Disgust mengungkapkan bahwa naskah ini cukup menantang karena memiliki banyak ruang interpretasi. 

BACA JUGA:   Teater Lingkar Angkat Lakon Ketoprak Madura ke Atas Panggung Teater

Dukun-Dukunan

Lakon Dukun-Dukunan karya Moliere yang berjudul asli “Le Medecin Malgre Lui” atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai “The Doctor in Spite of Himself”. Naskah ini  kemudian diadaptasi ke dalam konteks Indonesia oleh Puthut Buchori, sehingga lahirlah lakon “Dukun-Dukunan” yang tidak hanya mempertahankan unsur komedi khas Moliere, tetapi juga diwarnai nuansa lokal, budaya Indonesia, serta bahasa yang lebih membumi dan dekat dengan keseharian masyarakat Indonesia. “Dukun-Dukunan” karya adaptasi Puthut Buchori mengangkat isu kepercayaan masyarakat terhadap “orang pintar” atau dukun yang dikemas dengan gaya jenaka, menghibur, sekaligus mengkritisi terhadap fenomena sosial tersebut.

Kelompok Anger yang membawakan naskah ini menghadapi tantangan dalam keterbatasan jumlah anggota. Sutradara harus melakukan berbagai penyesuaian agar cerita tetap bisa tersampaikan dengan baik. “ Kami harus mengubah beberapa dialog, mengganti peran, dan memotong beberapa adegan dengan hati-hati agar esensi cerita tetap utuh.” Meski demikian, kelompok Anger berhasil menghadirkan pementasan yang segar, menghibur, dan penuh makna. “Melalui naskah Dukun-Dukunan ini, saya berharap penonton akan tertawa, menikmati ceritanya, tetapi juga pulang dengan pemikiran baru tentang isu-isu sosial yang diangkat.” 

Cermin

Karya Nano Riantiarno ini adalah monolog reflektif yang membahas topeng sosial, kemunafikan, serta keinginan manusia untuk tampil sempurna di mata orang lain. Cermin menjadi simbol untuk merefleksikan kenyataan diri manusia yang sesungguhnya, sekaligus media untuk mempertanyakan identitas, kejujuran, dan kepura-puraan dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, memahami makna mendalam dalam naskah ini bukan hal yang mudah. Sutradara dari kelompok Joy mengungkapkan, “Naskah ini punya deep meaning, jadi butuh waktu untuk benar-benar memahami pesan yang ingin disampaikan. Selain itu, menjiwai karakter tokoh utamanya juga cukup sulit.” Meski begitu, ia melihat tantangan ini sebagai kesempatan untuk berkembang. “Saya berharap penonton bisa benar-benar merasakan apa yang dialami tokoh utama. Selain itu, ini juga jadi ajang buat saya menantang diri sendiri dan mengasah kemampuan menyutradarai.” ujar sutradara kelompok Joy.

No Pree

Diitulis oleh MZ. Fanami, “No Pree” menyuarakan kegelisahan rakyat terhadap kemerdekaan yang palsu. Isu ketidakpedulian terhadap rakyat dan budaya bungkam menjadi benang merah dalam naskah ini. Meski diawali dengan keterkungkungan, ada harapan di akhir ketika kurcaci mulai sadar dan mengajar untuk bicara dan berani bersikap.

BACA JUGA:   Teater Lingkar Kembali Tampil di Panggung Seni Aksara

Sutradara dari kelompok Fear mengungkapkan bahwa membawakan naskah ini cukup menantang, mengingat isu yang diangkat cukup sensitif. “Awalnya saya agak takut membedahnya. Tapi setelah dikulik lebih dalam, naskah ini bisa ditampilkan dengan hasil yang memuaskan.” Ia berharap pentas ini bisa menjadi pengingat bagi penonton untuk lebih sadar akan realita yang sedang terjadi. “Jangan hanya melihat, tapi juga memahami dan berani bersikap.” [Fasa]

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *