
22 Juni 2025, nuansa malam Minggu meliputi masyarakat Indonesia. Di malam tersebut, atmosfer gedung FIB B Universitas Brawijaya bisa dibilang cukup meriah. Dari antrian sepanjang Boulevard, ke vendor-vendor jajanan di sampingnya. Malam tersebut adalah malam pentas “Kota Tak Henti Bernyanyi” yang diselenggarakan oleh yours truly, Teater Lingkar. Malam mana lagi lebih cocok untuk pentas berbau mistis, gelap, pedas, tajam, dan emosional seperti naskah yang dibawa kemarin?
Pentas Generasi, atau akrab disebut PenGen, merupakan pentas tahunan para mahasiswa baru FIB UB di Teater Lingkar. Biasanya menghadirkan karya pementasan dengan tema segar dan eksperimental. Tahun lalu, PenGen 2024 sukses membawakan “Bayi Palsu” (adaptasi ludruk Madura) dalam balutan dekorasi ceria dan komedi ringan. Kedua pentas menarik 200-250 penonton ke Aula FIB B.

Naskah “Kota Tak Henti Bernyanyi”
Ditulis oleh Ramatyan Sarjono, naskah asli ini berlatar di sebuah ruang terbuka, misalnya alun-alun atau taman kota, tempat berbagai orang berkumpul: pedagang kaki lima seperti Subiah si penjual jagung bakar, perempuan pelacur Sriwit, dan banyak sosok-sosok sehari-hari lainnya, mereka semua membawa cerita dan beban masing‑masing. Kehidupan dalam alun‑alun ini penuh kontras: kenyataan sosial, kemiskinan, moralitas; dengan suasana semakin intens saat suara dan lampu berpadu, menegaskan bahwa “Kota Tak Henti Bernyanyi”, menyuarakan narasi dari berbagai sudut kehidupan. Mau itu dari masyarakat kecil seperi Subiah dan Sriwit, ke masyarakat yang lebih elit seperti Eko dan Marpuah.
Sutradara menyatakan: “Banyak yang kutambahin dinaskah ini, banyak banget… Arwit juga bukan bagian dari naskah asli.” Hal ini merujuk kepada bagaimana naskah ini awalnya realis namun di tangan sutradara Reihan Anta dan astradara Ikra Mahesa, berkembang ke ranah surealis.
Sosok-sosok seperti Arwah Sriwit ditambahkan ke dunia Kota Tak Henti Bernyanyi. Karakter-karakter ini ditambahkan untuk memperkuat nuansa magis dan absurd dalam cerita, membingkai kota dengan suara-suara batin, emosi, dan fantasi yang tak kunjung berhenti sampai tengah malam yang seharusnya merupakan jam-jam tersunyi.

Pergumulan Kalangan Wanita dan Ketimpangan Sistemik
Penampilan pembuka oleh Lingkers 2023 serta penampilan utama “Kota Tak Henti Bernyanyi” mengangkat tema-tema yang cukup mirip. Hal-hal menyangkut hati, atraksi, janji-janji manis, pengkhianatan, dan akhirat dari perspektif kaum wanita. Pementasan malam tersebut menyoroti kehidupan kompleks dan derita wanita yang dirugikan oleh pihak-pihak yang seharusnya menjunjung tinggi hak-hak mereka. Dari hubungan personal yang membawa kehancuran, ke pemerintahan yang menginjak-injak dan mengecewakan masyarakat perempuannya untuk keuntungan sendiri.
Memang penampilan utama mengangkat kisah yang cukup fokus kepada para perempuan yang terlilit janji-janji manis, kemiskinan, dan tipu daya sistem yang menindas. Namun semua karakter-karakter dalam naskah “Kota Tak Henti Bernyanyi” kompleks. Tidak ada karakter yang 100% benar atau baik maupun 100% salah atau jahat. Baik mereka pria atau wanita, semua adalah individu yang memiliki beban dan pergumulan masing-masing di bawah sistem tersebut. Pria yang terjerat dalam sistem ini ujung-ujungnya menindas wanita dan masyarakat kecil, merujuk ke bagaimana isu-isu yang diangkat jugalah problematika sistemik.

Panggung yang Bernyanyi
Sebagian besar, pertunjukan ini memiliki tempo yang agak ceria dan komedi. Lalu, berubah menjadi mistis, serius, dan muram. Transisi semacam ini tidak dapat berjalan mulus tanpa koordinasi setting, cahaya, musik, kostum, dan para aktor.
Pentas tahun ini menggunakan setting yang minimalis tetapi dipakai secara maksimal dan efektif. Tiap prop yang dipakai di satu scene bisa dipakai di scene lainnya dalam konteks yang berbeda. Kotak yang merupakan prop rumah didepan, ketika dibalik, menjadi alat untuk penampilan bayangan (seperti gambar di atas).
Interaksi antara aktor, properti, cahaya, dan suara menjadi kunci dalam pertunjukan ini. Tata cahaya dan musik dirancang untuk menyatu dengan irama emosi di atas panggung. Cahaya statis diberi warna-warna khas adegan yang membuat transisi antar suasana terasa halus namun menghantam. Musik dan tempo permainan berubah-ubah: dari cepat, kacau, dan lucu ke emosional, menjadi lambat dan menghanyutkan.
Deretan pemain memainkan perannya dengan intensitas tinggi. Beberapa adegan berlangsung dalam tempo cepat dan penuh emosi, lalu berganti menjadi lambat dan melankolis. Perubahan tempo ini didukung pencahayaan dan tata musik yang cermat, setiap nada diaksentuasi koordinasi dari para aktor, menguatkan atmosfer mistis maupun komedis. Setiap karakter memiliki personalitas yang eksentrik tetapi kalau dipikir-dipikir lagi, pasti kita tangap “wah, bisa juga ya saya ketemu seorang seperti dia”. Hal ini dikarenakan kompleksitas semua karakter yang ditampilkan, baik, buruk, dan lucunya mereka.

PenGen 2025 memang ajang unjuk kemampuan generasi baru Teater Lingkar. Tetapi pementasan ini juga menjadi wadah refleksi tentang bagaimana seni pertunjukan bisa menjadi ruang untuk menyuarakan hal-hal yang terlalu sering dibungkam. Tentang perempuan, tentang sistem, tentang harapan, tentang korban, dan tentang kota… yang tak henti bernyanyi meski malam menjelang.
Sampai jumpa di pentas berikutnya!
Ingin mencari tahu apa saja pentas-pentas lain yang kita tampilkan atau mau belajar lebih banyak tentang teater? Jangan lupa kunjungi Teater Lingkar. [Brenda]

